JAM telah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari saat saya masih sibuk menekuni laptop dan beberapa literatur di ProQuest. Suasana sekitar mulai senyap tanpa suara. Udara juga semakin dingin. Beku.
Saya merasakan keheningan yang luar biasa di sekujur tubuh. Keheningan yang sedikit menakutkan, namun belakangan justru menjadi bagian favorit saya dalam menjalani kehidupan malam. Tentu saja ini tidak ada hubungannya dengan acara nongkrong atau menghabiskan waktu di suatu sudut kafe. Ini adalah tentang waktu terbaik di mana semua aktivitas menulis thesis menjadi mudah di jalani.
Sudah hampir lima bulan lamanya saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang bertanggungjawab pada sebuah penelitian mandiri. Setiap malam, di saat orang lain mungkin sudah terlelap, saya masih terjaga untuk menyelesaikan sebuah karya yang menjadi salah satu prasyarat kelulusan sebagai seorang sarjana.
Kondisi ini membuat kehidupan saya berotasi. Jika biasanya saya akan beraktivitas pada siang hari, kini sebaliknya saya lebih banyak aktif di malam hari. Biasanya saya akan betah terjaga hingga pukul lima pagi. Namun entah malam ini sedikit berbeda. Mendadak kedua belah mata saya mulai terasa berat di bagian kelopaknya. Memandangi puluhan tab yang terbuka di window komputer membuat saya tak tahan lagi. Pusing.
Saya tahu, ini isyarat bahwa tubuh saya sudah rindu dengan rutinitas normal seperti pada umumnya manusia. Beberapa hari yang lalu, seperti yang masih saya ingat, tubuh saya mulai berontak, tak tahan dengan rotasi kehidupan yang tak wajar ini.
Jika dihitung berdasarkan kalender akademik, ini adalah bulan kelima di mana saya sering begadang. Jika melihat kondisi badan─berat badan menurun drastis, lemas dsb─seharusnya saya memang harus beristirahat. Namun beberapa hari lagi penelitian ini akan mulai direview untuk menentukan kelayakan sidang. Ah… mendadak perut saya terasa dipelintir.
Sejenak saya merebahkan diri di kasur sambil menahan pening. Saya mencoba merilekskan badan, berharap kepala akan segera bisa diajak berkompromi. Dalam posisi itu, mata saya nanar memandangi langit-langit kamar seolah ada yang menarik. Di sana, saya mencoba mengingat-ingat kembali perjalanan saya di dalam menyelesaikan penelitian ini.
Saat itu masih semester tujuh saat pengumuman final jalur kelulusan mahasiswa angkatan 2012 dirilis departemen. Jalur kelulusan yang bisa ditempuh ditentukan dengan dua cara, skripsi dan non skripsi (jurnal). Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara lulusan keduanya. Bedanya hanya terletak di masalah teknis: skripsi, karena penelitiannya lebih mendalam cenderung membutuhkan penelitian ekstra (ditempuh selama dua semester), sementara non skripsi tidak (satu semester). Pada kesempatan itu saya diuji dengan dua pilihan sulit, skripsi atau jurnal?. Namun pada akhirnya saya memutuskan memilih jalur skripsi untuk menempuh kelulusan dengan motivasi riset mandiri di jalur ini akan memberikan manfaat tersendiri, khususnya jika nanti saya meneruskan jenjang pendidikan master of research.
Sebagai konsekuensi dari keputusan itu, maka mau tak mau saya harus bekerja keras. Hampir setiap malam saya menghabiskan waktu di depan komputer. Dan saya akan merasa sangat berdosa jika sampai jatuh tidur.
Posisi di mana saya berada sekarang adalah posisi yang menantang bagi seseorang yang mengabdi pada pendidikan tinggi. Karena di sini, eksistensi dan dedikasi saya sebagai seorang akademisi akan diuji. Setelah empat tahun lamanya menimba ilmu, kontribusi apakah yang bisa saya berikan untuk kehidupan? Fyuh… memikirkannya saja sudah membuat saya hendak muntah. Agaknya saya mengerti apa yang sebenarnya membuat saya pusing.
Karena tak tahan lagi dengan rasa pening yang tak kunjung reda, akhirnya saya beranjak dan meraih heater di meja. Saya menjerang air dan meraciknya menjadi teh tubruk─teh yang dibuat dengan cara menyeduh gula dan daun teh secara langsung di dalam cangkir. Kurang dari sepuluh menit, teh alakadarnya itu sudah bisa dinikmati.
Segera saya menyeruput isinya, memegangi kedua sisi cangkir dengan kedua tangan untuk menghangatkan badan. Teh yang terbuat dari teh merk Cap Botol itu terasa nyaman saat melewati tenggorokan. Memang rasanya sedikit berbeda sejak saya mengemari teh gula batu. Tapi dalam kondisi ini, teh dengan gula pasir ini adalah pilihan terbaik untuk mensupport kebutuhan badan.
Agaknya memang tidak salah saya menyukai minum teh. Semenjak sering begadang, teh menjadi sahabat terbaik saya untuk mendukung aktivitas malam. Hangat dan manisnya teh membuat saya kuat saat harus dealing dengan orang-orang baru dalam lingkup penelitian. Sejenak membuat saya lupa ketika dalam waktu yang bersamaan, terkadang saya harus berhadapan dengan banyak variabel ruwet yang datang secara membabibuta.
Rotasi kehidupan ini menjadi warna baru bagi kehidupan kemahasiswaan saya. Meskipun terkadang terasa mendidih di ubun-ubun─misalnya saat sedang patah semangat dan tiada dukungan yang diharapkan─saya yakin keputusan yang saya ambil tahun lalu ini adalah keputusan terbaik yang sudah seharusnya saya hadapi dengan jantan. Saya percaya, apapun yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya akan memberikan manfaat di kelak kemudian harinya. Dan yang paling penting, di sini saya jadi belajar untuk tidak mengeluh. Terutama untuk tidak mengeluh perihal keputusan yang secara pribadi telah saya buat sendiri.
Tentu kita tidak mau menjadi pengecut yang takut dengan keputusan yang dibuat sendiri, bukan.
©Tina Latief 2016
Semangat ya Mbak, semoga penelitian dan penulisan tugas akhirnya lancar sampai wisuda nanti. Jadi ingat saat dulu saya menyelesaikan tugas akhir, itu di tengah jangkitan tipus, itu benar-benar rasanya seperti sekarat :haha. Mudah-mudahan Mbak selalu sehat, lelah tak apa yang penting jangan sampai sakit.
Eh ya, saya kurang senang teh tubruk :haha, habisnya ada ampasnya sih :p.
LikeLike
Makasih mas Gara. Haduh, perjuangan banget itu mas. Semoga saya tetap sehat sampai akhir meskipun ketar-ketir juga karena kebanyakan begadang dan telat makan. 😀
Hehe iya mas, kebanyakan yang ngga suka tubruk karena ampasnya. Tapi saya suka karena aroma tehnya kuat..
LikeLiked by 1 person
Iya Mba, begadang memang penyebab penyakit banget. Coba minum jamu temulawak Mba, biar lever selalu sehat. Sebab kata orang kalau kebanyakan begadang itu yang diserang levernya :)).
Oh iya ya lebih kuat, langsung seduhannya sih :)).
LikeLike
Temu lawak bukanya bikin nafsu makan meningkat ya mas? waa nanti saya ngga bisa lari 😀 hihi
LikeLiked by 1 person
Ah itu hanya perasaan Mbak saja :haha. Kalau lapar artinya sehat kok, tak ada masalah :hehe :peace.
LikeLike
hahaha gitu ya 😀
LikeLiked by 1 person
Ayo dikebut…, seandainya tesis bisa selesai dengan dipesan dan diantar Gojek. 🙂
LikeLike
Mas Cahya… akhirnya ketemu lagi di blog ini 🙂
Hehe iya mas ini juga dikebut juga 😀
LikeLike
Kapan rencana wisuda? #uhuk…
LikeLike
Agustus, Mas.. 🙂 wish me luck ya mas hehe
LikeLike
Sip, semoga lancar semuanya 🙂
LikeLike
Makasih Mas 🙂
LikeLike
Tetap semangat, mbak.
LikeLike
Selalu mas, trims 🙂
LikeLike
Semangat yach Tina. Kebayang dech entar kalau lulus pasti ada kenangan tersendiri bagaimana susahnya perjuangan yang telah dilewati begitu amat sulit.
LikeLike
Makasih Mba Ade..
Pasti mba, perjuangan ini ngga akan terlupa..
LikeLiked by 1 person
Waaaaa 😀 berliku ya Mbak 😀
Emm… Pastinya kamu harus tetep semangat dan jangan menyerah ya Mbak 🙂 semangaaat teruuuus 😀
LikeLike
haha iya nih, makasih ya.. pasti semangat 🙂
LikeLike
Hihihi sama-sama Mbak 🙂
LikeLike
5bulan penuh perjualan dan semoga segera berakhir dengan hasil memuaskan
LikeLike
*perjuangan maksudnya? hehe iya makasih mas 🙂
LikeLike
Tetap smangat yaa 😊
LikeLike
Makasih mba… 🙂
LikeLike
Hai Tina. Semangat ya ngearjain tesisnya.
Cara nulis kamu bagus deh. 😉
Jd kek baca novel
LikeLike
Makasih mba sudah berkunjung..
Makasih juga buat pujiannya, semoga engga bikin bosan ya 🙂
LikeLike
Kutip: “Setelah . . . kontribusi apakah yang bisa saya berikan. . .?”
Wah, kalau separo saja akademisi kita mikirnya kontribusi begini, pasti beda jauh deh kita.. 🙂
LikeLike
tapi perjuangannya ya itu mas harus luar biasa …
LikeLike