SALAH satu kegemaran kakek dan nenek yang diwariskan kepada saya adalah kegemaran mereka dalam minum teh. Wedangan, begitu orang Jawa menyebutnya. Menyeduh teh panas dengan kental dan manis (nasgitel), lalu meminumnya beramai-ramai dengan penganan (pacitan) sembari berlama-lama mengobrolkan topik apa saja yang menarik untuk diperbincangkan.
Biasanya kami akan wedangan saat pagi atau sore hari. Atau tergantung momennya, misalnya pada saat turun hujan atau saat kedatangan tamu istimewa.
Wedangan menjadi satu ritual yang hampir tak pernah absen dalam keseharian kami. Sebuah rutinitas sederhana namun memberikan banyak kehangatan di dalam keluarga.
KETERTARIKAN saya pada teh berawal saat saya mulai menjalin interaksi yang cukup intensif dengan kakek dan nenek di Jakarta. Biasanya saat mereka sedang wedangan, saya akan diajaknya serta. Mulanya saya asal mau saja minum teh—sekedar untuk menghormati ajakan kakek dan nenek saya rasa. Namun lama-lama saya terbiasa. Singkat cerita, saya menjadi suka dengan rutinitas minum teh.
Karena suka minum teh, di banyak kesempatan lainnya, saya jadi mulai suka menjajal berbagai varian wedang teh yang menjadi jamuan di berbagai tempat yang saya datangi. Awalnya saya mati rasa, seolah wedang teh itu rasanya sama saja. Namun setelah banyak mencoba, rupanya tak semua wedang teh memiliki cita rasa yang sama.
Berdasarkan pengalaman saya, nikmat atau tidaknya wedang teh setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu momen minum tehnya, jenis tehnya dan jenis gula yang diracik bersama dengan tehnya.
Saya tidak akan bicara mengenai dua hal pertama, namun mari kita sedikit bicara tentang gula.
Gula yang selama ini dipakai oleh kakek dan nenek untuk wedangan adalah gula pasir. Tetapi semenjak saya gemar berpetualang mencicipi rasa teh, wedang teh rupanya tak melulu soal teh dan gula pasir.
Selama sebulan di Jogja kemarin, saya biasa minum teh dengan gula batu. Tahukah, setelah kembali ke Jakarta dan kembali wedangan dengan gula pasir, rasanya jadi tidak enak. Kurang mantap. Padahal saya sudah pakai gula pasir dan teh terbaik. Namun tetap saja, rasanya tidak senikmat saat saya meminum teh yang dibuat dengan menggunakan gula batu.
Karena teh yang saya buat terlanjur tidak enak, suatu ketika, sayapun meluangkan waktu untuk melihat-lihat aneka gula di supermarket. Namun pada akhirnya saya tak jadi membeli. Saya bingung, gula mana yang akan saya beli.
Saya berpikir bahwa di dunia ini hanya ada satu jenis gula batu. Gula batu berwarna kuning keruh yang biasa saya dan teman saya gunakan saat minum teh. Namun lihat apa yang saya temukan di supermarket. Saat memandangi etalase kaca, di sana tak hanya terdapat satu jenis gula. Entahlah, di sini ada banyak sekali jenis gula.
Gula jawa atau gula aren mungkin saya sudah familiar. Namun dengan gula batu, hanya sedikit yang saya tahu.
Gula batu yang yang saya lihat di supermarket terdiri dari tiga jenis warna dan tekstur yaitu jingga-halus, kuning-kasar dan putih-kasar. Salah satunya saya agak familiar, yaitu gula batu kuning-kasar sepertinya yang biasa dijual di pasar-pasar tradisional. Yang ada di dalam kepala saya hanyalah rasa penasaran, gula manakah yang paling enak untuk membuat wedang? Kabarnya, gula yang dijual di Jakarta tidaklah seenak gula-gula yang di jual di Jogja.
Inilah yang membuat saya bingung memilih gula. Meski secara teori gula yang enak adalah gula yang terbuat dari sari tebu asli, saya tidak memiliki cukup pengetahuan untuk mengenali gula mana yang memiliki kadar kemurnian tertinggi. Sementara itu membeli masing-masing gula untuk dicoba terdengar tidak masuk akal mengingat harganya yang relatif mahal. Jadilah, saya hanya memfoto masing-masing gula tadi dan menuliskannya ke dalam postingan ini.
Barangkali nanti saya akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai gula-gula ini. Tulisan ini saya buat sebagai penanda bahwa ada satu pekerjaan rumah yang kelak harus saya kerjakan, yaitu belajar mengenali produk-produk gula lokal yang ada di Indonesia. Mengingat saya adalah penggemar wedang dan wedang erat kaitannya dengan gula, agaknya memalukan jika saya tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Semoga kelak ada kesempatan belajar untuk saya…
©Tina Latief 2016
Dulu pas masih rajin ngeteh jg pake gula batu yg kuning keruh itu, trus seduhnya harus di poci tanah. Beda aja rasanya. Hehe
LikeLike
Poci tanah ya.. iya itu mungkin ngefek juga ke rasa. Waktu aku minum teh sama MJ biasanya juga pakai poci tanah. Hmmm mungkin itu nanti jadi faktor yang lain hehe
LikeLike
Yups. Pernah coba pake blirik, pake poci modern yg kaca trus ada saringannya itu, pernah seduh teko biasa, tetep juara yg poci tanah
LikeLike
Blirik itu apa? Selama ini aku paling sering pakai yang teko kaca 😦 pengen beli yang poci tanah tapi belum dapat yang bagus waktu itu…
LikeLike
Blirik itu yg biasanya warnanya ijo loreng itu lho. Bahannya kaya kaleng
LikeLike
Ijo loreng ya.. coba nanti aku tanya..
LikeLike
Mbak Tina biasa nyeduh teh merk apa? secara pencarianku ttg teh tersedap belum berhenti… versi saya, posisi puncak sementara diduduki teh dandang/soklat
LikeLike
Saya biasa minum teh merk Cap Botol, dan teh Jawa mas. Tapi beberapa waktu lalu saya diberi teh cap Puteri Minang, rasanya juga sedap dan wangi.
Kalau itu saya malah belum pernah mencoba mas, rasanya enakkah? Di mana saya bisa mencoba teh itu?
LikeLike
Itu produsen kebun teh pekalongan, tapi dijual cuma di solo dan sekitarnya. Di Jogja aja dulu enggak nemu merk itu… 🙂
LikeLike
Wah spesial ya berarti. Sepertinya boleh kalau kapan-kapan minta dikirimi 🙂
LikeLike
Iya mbak, special. Bahkan dulu tahun 80-an sampe dikirim via pesawat ke sitiung (lokasi bedol desa warga wonogiri) karena mereka katanya susah move on ke teh yg lain…
Boleh mbak, kl teh yang mbak tadi bisa dibeli dimana?
LikeLike
Teh jawa saya dapat di Jogja, Teh cap botol cuma ada di Jakarta. Kalau yang teh cap puteri minang adanya di Kediri, teman yang waktu itu bawain..
Seru ya sepertinya mencicipi beraneka ragam teh. Masing-masing wilayah di Indonesia punya teh unggulan.. 🙂
LikeLike
Yup, di Turkipun kadang saya juga kangen teh-teh Indo 🙂
LikeLiked by 1 person
memang teh pake gula batu rasanya juara. apalagi momennya pas sambil menikmati semilir angin dan bercengkerama. cukup pake cangkir kecil dan sebuah teko untuk isi ulang. 😀
LikeLike
Setuju mas 🙂
LikeLike
Rasa manis dari gula batu itu memang spesial ya mba, beda sama yang lain. Karena aku penggemar teh, jadi selalu berurusan juga sama gula. Cuma aku lurang suka yg terlalu manis mba. Hehehe 😀
LikeLike
Ah.. sepertinya kita sehati mba Molly. Saya juga ngga terlalu suka manis-manis. Kalau mesen teh gula batu, biasanya gulanya saya suruh kasih yang kecil. Atau mengaduknya benar-benar pelan, jadi ngga mencair semuanya 🙂
LikeLiked by 1 person
Toss kita mba… hihihi. Iya kalo kelewat manis agak blenger aja gitu :D.
LikeLike
Iya mba, malah ngga jadi nikmat tehnya..
LikeLike
Setuju mba, kemanisan ;). Hilang juga aroma asli teh nya.
LikeLike
Hihi iya, jadi aroma gula semua 😀
LikeLiked by 1 person
Saya sekarang coba (dan sering) kalau ngeteh pakai gula merah dan sedikit madu sebagai pengganti gula pasir. Rasa tehnya memang gak senendang kalayu pakai gula pasir, tapi untuk mengurangi konsumsi gula pasir kenapa tidak. Kalau sakit gula sudah datang kan lebih gawat, hehehe…
LikeLike