GERIMIS mulai menjadi tatkala kami mulai menuruni Gunung Ireng. Sayapun mulai mengatupkan kembali kancing mantol, mengenakan tudungnya dan menguncinya rapat-rapat di balik helm.
Kami tak lantas pulang. Perjalanan sore itu kami lanjutkan dengan hunting makan malam. Saya membatin, “Gerimis, dingin, paling cocok jika menyantap kehangatan Bakmi Jawa Mbah Noto”. Namun saya hanya bisa menggigit jari. Rupanya, sang pengemudi tidak menuju ke sini.
“Jadi kita mau makan di mana?” bisik saya ke telinga kirinya.
“Di sekitar sini. Ada resto unik di sini” tukasnya singkat.
Mendengarnya berkata unik sudah membuat saya bergidik sendiri. Pasti, ia ingin mengajak saya mencoba sesuatu yang aneh-aneh lagi di sekitar sini.
Ini bukan ide yang bagus, pikir saya saat itu. Sementara itu, hari semakin gelap. Dan bukan hobi saya pula kulineran di tempat yang gelap-gelap.
“Bisakah kita pergi ke tempat lain? Aku meragukan tempat yang akan kamu tuju”, ujar saya mencoba mengalihkan perhatiannya.
Namun yang diberitahu tidak bergeming sedikitpun. Saat ia menjawab “Kamu pasti suka”, sayapun hanya bisa mengerang dan memutar bola mata diam-diam.
***
SAYA semakin merapat ke punggungnya saat motor yang ia bawa mulai masuk jauh ke dalam jalanan sempit yang riuh dengan kodok yang sedang berpesta. Saya menahan nafas sambil sesekali melirik ke samping kanan dan kiri. Jalanan itu nampak gelap dan terpencil.
Hanya ada beberapa lampu yang menyala redup. Setelah melewati jalan sekitar 200 meter, jalanan yang bisa dilewati mobil itu terputus, bersambung ke sebuah jembatan sempit yang menggantung di atas derasnya Sungai Oya. Jadi kita akan melewati jembatan ini, huh? Jantung saya mulai berdegub tak beraturan. “Jangan lihat ke bawah. Jangan lihat ke bawah”.
Saat kami melintas di atasnya, jembatan itu terdengar berderak-derak menakutkan.
***
SAYA mulai bernafas lega tatkala bagian ujung jembatan mulai terlihat. Sentakan pelan pada roda bagian belakang motor mengakhiri perjalanan menakutkan bagi si penakut ketinggian.
Kamipun mulai menyusuri jalanan setapak yang sedikit basah dan menanjak. Saya bersyukur permukaannya nampak terang dihiasi lampu-lampu cantik yang dipajang di sepanjang jalan. Beberapa menit kemudian, kami menemukan lokasi parkir yang tak jauh dari kediaman penduduk. Setelah mesin motor dipadamkan, kaami mulai menyeberang jalan menuju lokasi yang menjadi tujuan.
Kami telah sampai di Kampoeng Jelok Resto. Restoran bergaya unik hasil pemberdayaan masyarakat Desa Jelok tersebut didirikan di atas tanah dengan kontur yang beragam di Desa Jelok, Beji, Kecamatan Patuk.
Restoran ini memiliki beberapa unit ruangan, termasuk mushola, kamar mandi, dapur dan sebuah panggung yang tersedia di tengah-tengah restoran. Semua pengunjung bebas menentukan di mana mereka akan duduk dan makan. Setelah puas melihat-lihat, sayapun memilih sebuah tempat. Kesan pertama saat mulai masuk ke tempat ini adalah nuansa Jawa klasik yang berusaha ditonjolkan semaksimal mungkin. Bangunan restoran sengaja mengadopsi konsep kandang sapi yang khas dengan kayu-kayu besar dan anyaman bambu. Kursi yang dipasang pun memilih kursi-kursi kayu yang memiliki barak-barak besar seperti amben (tempat tidur) jaman dahulu.
Kap-kap lampu berhiaskan caping petani turut ditambahkan sebagai hiasan. Sementara di bagian atap, dipasang genteng dan anyaman rumbia. Kesan antik lainnya ditambahkan dengan menghadirkan sepeda onthel dan patung-patung Jawa di sudut-sudut ruangan. Namun yang membuatnya sangat Jawa, tentu saja menu spesial yang disajikan di Kampoeng Jelok Resto.
Kampoeng Jelok Resto mencoba mengangkat menu khas daerah sebagai sajian utamanya. Terdapat dua pilihan menu yang dapat dinikmati di Kampoeng Jelok Resto, yaitu menu utama dan menu sampingan (kudapan).
Menu utama terdiri atas dua paket menu makan yang bisa dipilih berdasarkan jenis masakan dan harga. Sedangkan menu sampingan bisa dipilih sendiri berdasarkan keinginan dan ketersediaan (musiman). Menu utama terdiri atas paket reguler dan spesial. Untuk paket reguler dibandrol dengan harga Rp 20 ribu, sementara untuk paket spesial hanya dihargai sebesar Rp 27 ribu saja.
Pada kesempatan itu, kami menjajal paket menu spesial untuk makan malam. Kami memesan dua paket spesial disertai dengan beberapa menu kudapan. Menu utama yang kami pesan terdiri atas gudeg sinuwun (gudeg jantung pisang), sayur lombok ijo, ayam goreng kampung, dan tahu dan tempe bacem. Sementara untuk menghangatkan badan, kami memilih wedang jahe dan pisang goreng sebagai kudapan.
Menurut keterangan pelayannya, masakan ini hanya diolah dengan bahan-bahan asli dari produk sendiri. Beras, ayam, sayuran, semuanya dari hasil Desa Jelok. Benar saja, setelah mencicipinya, rasanyapun berbeda. Makanan ini benar-benar asli cita rasa masakan Jawa.
“It tastes so Java!”Untuk ukuran lidah saya yang sangat Jawa, masakan ini sangat mampu memuaskan selera. Gudegnya sedap dan manis. Sayur lombok ijonya pun terasa sangat gurih.
Yang paling saya senangi adalah cara resto ini memasak nasi. Bagi penyuka nasi dengan tekstur yang tidak terlalu kasar, Kampoeng Jelok Resto menyajikan nasi yang tergolong lembut dan pulen. Dalam waktu singkat, semua sajianpun ludes. Saya makan sangat lahap sampai merasa ngantuk karena kekenyangan.
***
Saya tahu, teman saya diam-diam menertawakan saya. Bagaimana tidak, saya yang semula meragukan, pada akhirnya malah makan paling banyak.
Lantas mau bagaimana lagi, restoran pedalaman yang berusaha mengangkat nilai perekonomian warganya ini memang terbukti kaya rasa. Tempatnya memang jauh di dalam, namun menjanjikan. Tidak wisata alamnya, tidak juga kulinernya, semuanya benar-benar istimewa.
Kunjungi terus wisata Jogja!
©Tina Latief 2016
Mbak..suka mbaca tulisannya. Deskriptif banget! Jadi serasa jalan2 beneran. Btw, restonya khas pedesaan banget yaa… Khas gunung kidul. Salam kenal mbak..
LikeLiked by 1 person
Terima kasih 🙂 Salam kenal juga…
Iya, restonya khas pedesaan Jelok. Boleh coba, siapa tahu suka..
LikeLike
temanmu yg mengajak makan itu cowo apa cewe?
LikeLike
Kasih tau ngga ya… 😀
LikeLike
walau tempatnya dibuat tradisional tapi justru mempercantik ya, apalagi ditambah makanannya yang maknyus
LikeLike
Iya Mba..
Yuk kapan-kapan ke sini nyicip, Mba 🙂
LikeLike
Sukaaaa bgt sama gudeg pdhl saya org sunda 🙂
LikeLike
Aku juga suka masakan Sunda loh, terutama sayurannya 🙂
LikeLike
pertama kalinya mampir kesini. waahh…homey..jadi inget kampuung
LikeLike
Sayang engga ada Sego Megono, Mba In.. hehe
LikeLike
wah…pasti asyik ya jalan2 di tempat ini ada restonya pula..
LikeLike
Hehe iya asyik 🙂
LikeLike
looks super authentic yaaa mba..Cakep tempatnya. Aku udah kebayang..peaceful..dan nyaman pasti nongkrong di sini 🙂
LikeLike
Yuk mak Indah mainlah ke sini kalau lagi balik ke Indo 🙂
LikeLike
gaya vintage begini suka bangettt saya
hebat ya bikin rumah makan di pedalaman begini … kerenn dan unik .. bikin penasaran untuk datang …
LikeLike
Silakan berkunjung bang jika ada kesempatan. Dijamin ngga menyesal 🙂
LikeLike
Berasa baca cerpen baca intronya hehehe Asik nih ya kalau bisa main ke sana, meski saya bukan tipikal penggemar kuliner malam, sih,
LikeLike
Isn’t that good? 🙂
Kalau datangnya siang juga jadi kuliner siang kok Mba Efi hehe..
LikeLike