Menaklukkan Tanjakan Setan di Jalur Lari Bukit Sodong

img_20161126_115021Ketika KA Senja Solo merapat di Stasiun Tugu, kembali saya menghirup udara Jogja yang beberapa minggu terakhir begitu saya rindukan. Udara pukul enam di Jogja tercium begitu khas. Ketika menghirupnya banyak-banyak, saya dapat merasakan bau kedamaian yang langsung menjalar ke sekujur badan.

Rasanya begitu ringan bernafas di ruang kota Jogja. Kalau bukan karena di tempat umum, saya mungkin akan dengan senang hati berlama-lama di tempat itu. Namun tentu saya cukup waras untuk segera beranjak. Berada di tengah suasana cerah di Jogja, tentu saya tidak ingin menyiakannya begitu saja.

Saya lantas meneruskan perjalanan menuju ke pusat kota. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari sarapan untuk si perut yang mulai keroncongan. Dan seperti biasa, Soto Pak Gareng yan terletak di seberang Stasiun Tugu akan senantiasa menjadi pelipur lara tatkala saya berkunjung ke Jogja. Barulah setelah perut kenyang, saya kembali meneruskan perjalanan. Yaitu ke tempat yang menjadi destinasi wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke Jogja, Malioboro.

Jalan-jalan pagi di Malioboro saya pikir bukanlah ide yang buruk. Sesampainya di sana, suasananya masih sepi. Belum ada banyak pedagang dan jalanan masih sangat lengang. Saya sangat menikmati suasana Malioboro pagi itu. Sepinya jalanan membuat saya leluasa untuk melihat-lihat keadaan. Sejenak saya mengamati adanya perubahan pada tatanan ruas jalan di sana, yaitu hadirnya pagar jingga di setiap sisi jalan utama. Namun pada menit-menit selanjutnya, mendadak mata saya terpaku pada sesosok pelari berjersey kuning yang melintas tepat di depan jalan di mana saya berdiri.

Tidak terjadi apa-apa antara saya dan pelari itu. Saya bahkan juga tidak menyapanya. Hanya saja setelah saya melihatnya, mendadak saya merasakan gejolak yang tak tertahankan yang seolah memaksanya untuk keluar. Saya jadi teringat pada sebuah ungkapan yang diam-diam pernah saya ucapkan tatkala saya tengah belajar berlari di sini.

img_20161013_072346Saya pernah berjanji pada diri sendiri bahwa kelak saya ingin berlari menaklukkan lintasan yang di awal dulu sering saya gunakan untuk berlatih. Lintasan itu merupakan lintasan lari yang memiliki sejumlah tanjakan menakutkan di sepanjang jalannya. Tanjakan setan, begitu saya mengistilahkannya. Lintasan itu mengular sepanjang 5 km hingga mencapai Bukit Sodong.

Pada waktu itu, saya sedikit banyak mengutuk jalur lintasan yang mengarah ke Bukit Sodong itu. Bagaimana tidak, tanjakan di lintasan itu dulu benar-benar membuat nafas dan lutut kepayahan. Makanya, dulu saya tidak percaya diri saat berlari di lintasan itu. Takut DNF, begitu ceritanya. Namun entah mengapa kali ini saya merasa lebih percaya diri untuk kembali menjajal berlari di lintasan tersebut.

img_20160115_174802
Dan benar, sesampainya di rumah, sorenya saya langsung menjajal lintasan tersebut. Dan inilah hasilnya. Saya berhasil berlari dengan pace di atas 6.

Fyuh, sore itu Jogja terasa sangat terik. Saking panasnya, saya sampai menghabiskan dua botol Pocari Sweat. Meskipun sempat ngos-ngosan, saya cukup senang. Senang karena pada akhirnya saya berhasil menaklukkan tanjakan setan tersebut dengan selamat.
IMG_20160117_132733

Kedengarannya memang tidak wah. Bagi pelari-pelari andal lainnya, bisa dibilang apa yang saya capai ini tidak ada apa-apanya. Namun bahwa saya bisa membuang pesimisme yang dulu ada pada diri saya, menurut saya adalah hal yang istimewa. Jadi kini saya akan lebih berani menantang diri saya dengan tantangan yang mungkin lebih menantang dari sekedar tanjakan.

©Tina Latief 2016

5 thoughts on “Menaklukkan Tanjakan Setan di Jalur Lari Bukit Sodong

Any comments? just post!